Empowering Your Love
Pembahasan cinta selalu
unik. Persoalan cinta ini terus dibahas berulang-ulang. Mengapa begitu? Apakah
masalah? Tidak, cintanya bukan masalah, tapi bagaimana sikap kita ketika
datang cinta itu yang terkadang menjadi masalah. Bagaimana mendayagunakan
cintanya? Ketika seseorang jatuh cinta, tergantung bagaimana muslimah
memberdayakannya. Jangan salahkan cintanya, tapi bagaimana kita mendayagunakan
cintanya. “Falling in Love isn’t haram. What you do with that love is
what makes it haram or halal.” – Yasir. Ternyata perasaan cinta tidak
serta merta berasal dari perasaaan. Ada hormone, ada rangsangan. Respon
otak, pengeluaran hormone. Misalnya ketika bersama laki-laki dekat dan
enggak ada perasaan. Fungsi penglihatan itu pengaruh sama kerja otak untuk
mengeluarkan hormone. Lihat Q.S. Al-Mukminun: 14
“Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu :
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS.
Ali-Imran : 14)
Wanita menjadi salah satu
keindahan. Banyak cara setan untuk mengikuti wanita ketika keluar rumah dan
menjadikan wanita itu indah terlihat oleh orang lain. Terbayang betapa besar
godaan yang ada pada wanita. Namun, dalam perintah-Nya, Allah tidak pernah
meminta kita untuk menutup pandangan, melainkan Allah memerintahkan kita untuk
menundukkan pandangan.
Lalu, bolehkah muslimah jatuh cinta?
Boleh, karena fitrah. Pilihannya ada dua: 1) Menikah atau 2) Menjaga hati dan
diri. Mau tidak mau harus menjaga hati dan cinta kita sampai waktunya tiba.
Walaupun sekarang sudah dekat, sahabatan, katanya sudah bro-sis, enggak bakal
jatuh cinta. Tapi itu ke depannya nanti siapa yang tau.
“Jaga hati itu
tidak mudah. Mungkin aku bisa tapi dia belum bisa, atau ketika
kita berdua sudah bisa menjaga, tapi kan masih ada orang lain
dengan segala prasangkanya terhadap kita.” Banyak muslim belum siap dengan menikah lalu
memilih cara-cara sampingan seperti pacaran. Mungkin bisa aja laki-lakinya
bersikap biasa, masih coba-coba. Tapi perempuan kalau sudah sampai pada tahap
nyaman, sudah susah melepaskan.
Ibnu Qoyum dalam bukunya Arraudhatul Muhimin,
tentang rindu, orang-orang yang menahan rindu. “Wahai para muslimah jangan
salahkan dia karena kamu melihat dia mengejarmu, tapi salahkan kamu yang telah
memberikan hatimu kepadanya. Benteng terakhir adalah hatimu”.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al
Isra: 32)
Allah tidak menyatakan
jangan berzina, tapi dimulai dengan jangan mendekati zina. Kenapa? Karena
mendekati itu sudah bisa berbahaya. Bukan hanya pacaranya tapi dari pandangan
mata, bercampur baur (ikhtilat), dan berdua-duaan (khalwat), karena
disana dua orang saling merasa memiliki. Yang dimaksud dengan zina adalah
puncaknya zina. Makanya menjadi saksi atas sebuah perzinaan itu berat, karena
harus benar-benar menyaksikan bagaimana zina itu terjadi. Dan percayalah bahwa
laki-laki seperti apapun sikapnya pasti ingin perempuan yang terbaik. Bahkan
seorang pembunuh pun tidak mau punya istri pembunuh. Lihat QS. An-Nur: 26:
“Cinta tak pernah
meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah
keberanian atau pengorbanan.” - (Salim A Fillah)
Berani artinya menikah,
dan berkorban artinya melepaskan.
Jika kita sedang menyukai
seseorang jangan curhat dengan manusia, apalagi sampai menggalang dukungan.
Curhatlah kepada Allah. Minimalisir cerita kepada orang lain. Buat yang belum
waktunya minta kepada Allah agar dikuatkan untuk menjauhi. Meskipun bawaannya
ingin mengirim sms, itu masalah self-control, seberapa jauh kesadaran
kita terhadap cinta kepada Allah dengan keimanan yang kita miliki. Senantiasa
perbaiki diri dan pantaskan diri. Ketika sudah siap untuk berproses, step by
step harus dengan menyertakan Allah dalam setiap langkah dan prosesnya.
Jangan menuhankan perasaan-perasaan kita. Kalua perlu istikharah dulu karena
setiap langkah itu bisa saja sudah ujungnya. Kalau ingin bersuamikan orang yang
shalih, maka kamu juga harus menjadi shalihah. Kalau ingin bersuamikan
penghafal Qur’an, kamu juga harus hafalkan Al-Qur’an.
“Lah, Kak kalau gitu namanya enggak saling melengkapi
dong?”
“Itu bukan saling melengkapi namanya, itu namanya
enggak mau ikhtiar.”
Dalam hidup kita ada hal yang tidak dapat
diubah. Nah dalam konteks tema ini adalah jodoh dan sudah diatur oleh Allah ada
di Lauhul Mahfudz. Cintanya mau diambil dengan cara yang haram atau
halal? Itu aja. Yang membedakan itu cara menjemputnya. Maka akhirnya bukan
tentang apa. Pertanyaannya ada dua, mau dilempar dnegan murka atau diberi
dengan halus? Masalahnya dikembalikan pada keberkahannya.
Kemana akan salurkan energi untuk mencintai
ini? Kita bisa maksimalkan potensi kita, mumpung masih sendiri explore hal-hal
yang kita inginkan. Apakah ketika menikah berarti membatasi? Bukan, karena akan
beda ketika sudah menikah dan berkeluarga. Lakukan hal yang ingin kita lakukan
selama itu positif dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Tidak ada orang yang lebih menderita dari
orang yang tidak hidup menjadi dirinya sendiri. Maka jadilah diri sendiri dan
setiap orang berbuat sesuai kegiatannya sendiri. Sejak alam rahim manusia sudah
dititipkan bakat dan potensi masing-masing. Kenali aktivitas kita apa yang
mudah dan bisa kita pelajari. Minta penilaian orang lain juga, kita menilai
diri kita dengan pandangan orang lain. Kita menilai kita dengan apa yang kita
sukai. Tapi orang menilai dengan apa yang kita hasilkan.
Comments