Ketika Keadilan "Terluka"
oleh Dian
Fhaatma Thaib
Suatu
masa di pemerintahan khalifah Umar Bin Khattab, tersebutlah seorang gubernur
nan mashur kerajaannya di negeri Mesir bernama Amr Bin Ash. Kala itu Amr Bin
Ash ingin mendirikan mesjid didekat istananya nun megah, namun sebuah gubuk tua
milik seorang kakek Yahudi yang berdiri tepat dilokasi pembangunan mesjid yang
membuat pembangunan mesjid tidak bisa dilanjutkan. Berbagai upaya telah
dilakukan agar kakek Yahudi tersebut bersedia menjual gubuk miliknya, tetapi
tetap saja gagal.
Geram
karena usahanya tidak membuahkan hasil, Amr Bin Ash memutuskan untuk merubuhkan
gubuk tersebut secara paksa. Melihat kesewenangan yang dilakukan gubernurnya,
sang kakek berpikir “Amr Bin Ash hanya seorang gubernur, pasti masih ada orang
yang memimpin diatasnya”, setelah bertanya-tanya pada penduduk Mesir, ia
akhirnya mengetahui bahwa gubenurnya tersebut dipimpin oleh seorang khalifah
yang terkenal sangat adil dan bijaksana dalam memutuskan perkara, orang
tersebut bernama Umar Bin Khattab dan pusat pemerintahannya berada di Madinah.
Tanpa pikir panjang, jarak jauhpun ia tempuh demi mendapatkan kembali hak atas
gubuk miliknya,
Sesampainya di
Kota Madinah, sang kakek bertemu dengan seorang pria yang duduk di bawah
pohon kurma. Setelah berbincang cukup lama, terkejutlah kakek tersebut karena
orang yang sejak tadi berbicara dengannya adalah seorang Khalifah. Ia ceritakan
segala apa yang dilakukan oleh Gubernur Mesir padanya. Seketik itu pula
Khalifah Umar langsung memerintahkan kakek tersebut untuk mengambil sebilah
tulang unta yang ada di tumpukan sampah didekatnya. Kakek tersebut bingung,
namun tetap dilakukannya titah sang khalifah. Diserahkannya tulang tersebut,
Umar dengan sigap langsung mengeluarkan pedangnya dan menggoreskan garis lurus
pada tulang tersebut. Lalu ia berkata “bawalah tulang ini ke mesir, berikan
pada Amr Bin Ash”. Kakek Yahudi tersebut bertambah bingung, jauh-jauh ia
berjalan dari mesir ke madinah hanya untuk mendapatkan tulang? Namun, meskipun
dengan wajah kecewa ia tetap kembali ke mesir dan berharap keajaiban bahwa
tulang tersebut dapat mengembalikan gubuknya yang telah hancur dapat terjadi.
Sesampainya di Mesir, kakek Yahudi
tersebut langsung menemui Amr Bin Ash dan menyerahkan tulang tersebut padanya.
Seketika itu, gemetarlah sang gubernur dan berkatalah ia pada pekerjanya “Bongkar
mesjid itu, segera dirikan lagi gubuk milik kakek ini!” serunya. Semakin
bingunglah kakek tersebut, bagaimana mungkin seorang gubernur menjadi sebegitu
takutnya hanya karena sebuah tulang? Sang kakek berteriak “Tunggu gubernur!
Sebelum itu, jelaskan lah dulu padaku hal apa gerangan semua ini, mengapa
sebilah tulang bisa langsung mengubah keputusanmu tuan? Apa yang menarik dari
tulang tersebut?”.
Lalu berkatalah sang gubernur, “wahai kakek, sungguh,
bukanlah tulang ini yang membuatku gemetar. Apalah arti dari tulang ini, baunya
pun busuk, arti dari tulang inilah yang membuatku gemetar kek” jawabnya sambil
tertunduk.
“Kalau begitu apa artinya?”
Gubernur itu pun menjawab “Seolah Umar berkata
kepadaku, berlaku adil dan luruslah kamu seperti lurusnya garis di tulang ini,
jika kau tak mampu, biar aku yang meluruskannya dengan pedangku!”
Sang kakek Yahudi itu pun terdiam, “Tapi aku seorang
Yahudi”
“Ya, meski pada seorang Yahudi sekalipun” sahut
gubernur.
“Jika begitu, berarti islam itu adil wahai Gubernur?”
“Ya, islam itu adil” jawabnya pelan.
“Baiklah jika begitu, jangan kau bongkar mesjid itu
wahai gubernur, sudah kurelakan gubukku untuk mesjid yang dibangun diatasnya.
Tidak hanya itu, mulai hari ini kau saksikanlah ikrarku ‘Ashadu ala
ilahailallah, wa ashadu anna Muhammadarasulallah’ “
MasyaAllah, betapa indahnya hidup
dalam keadilan. Berdasarkan cerita tersebut, dapat kita bayangkan, apa jadinya
jika sang kakek tidak mendapatkan keadilannya setelah menemui khalifah Umar,
reaksi apa yang akan ia munculkan?
Keadilan
yang hakiki, adalah konsep keadilan yang ditawarkan islam bagi seluruh alam.
Ialah keadilan yang tidak membatasi pelaksanaannya pada siapa pun, kapan pun
dan di mana pun. Seperti dalam cerita di atas, bahkan Amr Bin Ash yang muslim
kalah dalam pengadilan yang diputuskan Umar
saudaranya sesama muslim, dalam
melawan seorang Yahudi.
Lebih
menarik lagi, konsep adil yang ditawarkan pada islam tidak terbatas pada
hal-hal terkait hukum penyelesaian konflik dua pihak berselisih semata, lebih
jauh lagi, islam menuntut umat muslim agar adil dalam segala hal, ya segala hal.
“Dan Allah telah meninggikan
langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas
tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi neraca itu.” (Ar-Rahman 7-9)
Lalu,
bagaimana jika keadilan terluka?
Selayaknya
tubuh yang luka, begitupula keadilan yang terluka. Luka pada tubuh boleh jadi
disebabkan oleh banyak sebab, respon yang dimunculkan pun beragam sejalan
dengan sebab dari luka itu sendiri. Luka akibat goresan barangkali akan
memunculkan respon berupa kulit yang robek dan darah yang mengucur. Berbeda
dengan luka akibat tindihan benda tumpul yang akan menimbulkan memar, dimana tubuh
akan mengalami pendarahan didalam dengan indikasi kulit yang kebiruan dari
luar. Namun, respon apa pun tetap memunculkan rasa sakit.
Setiap
saat keadilan dapat terluka, baik sengaja maupun tidak sengaja, oleh siapa saja
dan dimana saja. Keadilan yang terluka memunculkan respon yang berbeda, dan
akibatnya ada yang dapat dilihat secara kasat mata, adapula yang tidak. Luka
yang tidak terlihat sesungguhnya lebih berbahaya, karena kita tidak tau lokasi
persis dimana ia berada, sehingga tidak bisa segera mengobatinya.
Keadilan
bisa terluka diakibatkan seorang individu yang lalai dari memberi hak istirahat
bagi tubuhnya, bisa terluka akibat anak yang alfa dari berbuat baik kepada
kedua orang tuanya, bisa terluka akibat ayah yang lupa menyisihkan waktu
bercengkrama dengan anaknya, bisa terluka akibat mahasiswa yang tidak mampu
mengatur waktu nongkrong dan belajar, bisa terluka karena rakyat terlalu sibuk
menuntut hak sehingga lupa akan kewajibannya, dan sangat mungkin terluka akibat
pemimpin yang dzalim yang hanya memikirkan bagaimana kekayaannya bertambah dan
kepentingannya dipermudah.
Boleh
jadi nilai buruk yang kita dapatkan dikelas, tidak patuhnya anak kedua orangtua,
kesulitan mahasiswa dalam mengerjakan skripsi, bahkan kemiskinan, permusuhan
serta perpecahan yang banyak terjadi saat ini, barangkali ialah buah dari
ketidakadilan yang dilakukan oleh setiap orang dalam tiap peran yang ia miliki.
Keadilan
yang terluka ialah keadilan yang tidak diletakkan pada tempatnya. Berlaku adil
dalam aplikasinya memang tidak mudah, manusia sebagai subjek yang
menjalankannya pun juga tidak mungkin dapat melakukannya secara sempurna.
Namun, bersikap adil dan berusaha keras dalam menegakkan keadilan sejatinya
merupakan kewajiban dari setiap insan yang menginginkan kehidupan damai dimuka
bumi. Keadilan merupakan jawaban mutlak dari setiap permasalan umat yang ada
saat ini, serta menjadi pilar dari terciptanya kehidupan yang harmonis antar
umat berbeda agama sekalipun. Perpecahan yang kerap terjadi dewasa ini dapat
dijadikan refleksi dari keadilan yang
telah terluka itu, dan kini tugas kitalah untuk berusaha menyembuhkannya
bersama-sama.
Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Qs. an-Nahl: 90)
Referensi :
tuntunanislam.com/adil-yang-patut-dan-standar/
Al-Quranul Karim
Comments