Hijrahku, Hijrahmu
Oleh Bewizta M. Hasyyati
Namun
firman Allah itu benar. Jika dikatakan “jadilah”, maka “jadilah ia”! Begitu
pula yang terjadi pada perempuan ini. Takdir Allah menemukannya dengan seorang
guru agama yang saat mengajar lebih mirip stand-up
comedian di sekolah menengah pertama tempatnya bersekolah. Seketika,
pelajaran Agama Islam menjadi pelajaran favoritnya. Jumlah rakaat shalat yang
dikerjakannya semakin bertambah, dan dirinya mulai “ikut-ikutan” menjadi
pengurus rohis meskipun dirinya belum menutup aurat secara sempurna. Suatu
saat, ia mendengar suara salah seorang imam Masjidil Haram, Abdurrahman Sudais,
yang menangis ketika sedang membaca ayat Al-Qur’an. Hal tersebut membuat
dirinya tertegun, seumur-umur dirinya membaca Al-Quran, belum pernah ia sampai
sebegitu menghayatinya, padahal ketika ia membaca novel tak jarang ia sampai
meneteskan air mata. Sejak saat itu, perlahan-lahan ia mulai memperhatikan
makna dari firman-firman Allah, dan sampailah ia pada ayat yang mengubah
hidupnya selamanya.
“Baginya
(manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan
dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum
mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya dan tidak
ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
(Ar Ra’d: 11)
“(Mereka
berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk
kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena
sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)" (Ali Imran: 8).
Ayat
tersebut menjadi sumber energi dan penjaga perilakunya hingga kini untuk
menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari dan terus istiqomah. Ayat
tersebut menjadi penyemangatnya ketika keinginan menanggalkan jilbab di
kepalanya muncul. Ayat tersebut menjadi penguatnya ketika ia hendak menghapus
ratusan lagu yang telah ia koleksi selama bertahun-tahun. Ayat tersebut menjadi
pendorongnya ketika ia mulai menyumbangkan semua celana yang ia miliki dan
mulai istiqomah memakai rok. Ayat tersebut menjadi peneguhnya untuk tetap jujur
ketika hampir semua temannya saling berbisik dan bertukar jawaban di saat
ujian. Ayat itu jugalah yang membuatnya tegas menolak untuk memperlihatkan
kupingnya ketika ia harus melakukan foto visa ke negeri adidaya. Kedua ayat itu
membuatnya yakin bahwa selama kita melakukan usaha yang terbaik, maka dengan
izin Allah apapun yang kita usahakan akan membuahkan hasil yang manis—sepahit
apapun halangan yang merintangi dalam proses usaha menuju kebaikan tersebut.
Memang, manisnya iman baru terasa ketika kita telah merasakan pahitnya berusaha
mempertahankan apa yang kita yakini.
Meskipun
sejak awal SMA ia telah memenuhi nadzarnya untuk mengenakan kerudung ketika ia
berhasil diterima di SMA impiannya, namun ia baru melakukan “hijrah
multidimensional” saat ia menjalani tahun kedua di SMA. Seringkali, orang
membutuhkan “paksaan” agar dapat berperforma secara maksimal, dan itulah yang
terjadi pada dirinya. Secara tiba-tiba, dirinya yang belum lama berkerudung
ditunjuk untuk jadi salah satu petinggi rohis di sekolahnya. Mau tidak mau,
perempuan itu harus berubah secara cepat. Mentoring
mulai diikutinya secara rutin, hafalan Qurannya terus ditambah, dan ia
mulai lebih getol mengerjakan hal-hal yang sifatnya sunnah. Ia juga dipaksa
untuk mengurangi waktu mainnya karena kini terpakai untuk rapat yang rasanya
tiada habisnya.
Lalu,
ketika duduk di kelas tiga SMA, ia terpilih menjadi salah satu pelajar yang
mendapatkan beasiswa untuk hidup sebagai minoritas selama setahun dalam setting
budaya yang berbeda di negara Paman Sam. Meskipun dari luar terkesan bahwa
kesempatan hidup di luar negeri secara gratis seperti mendapat durian runtuh,
nyatanya banyak lika-liku yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Ia yang
biasanya pemakan segala kini harus memicingkan mata ketika mengecek komposisi
makanan di supermarket. Ia yang biasanya tinggal melangkahkan kaki menuju
mushola terdekat ketika mendengar adzan, kini harus mencari jadwal waktu
shalat, membawa kompas kemana-mana untuk mencari kiblat, dan memohon izin untuk
dipinjamkan ruangan untuk shalat. Ia yang biasanya bisa langsung tidak menjabat
tangan lawan jenis, kini harus menjelaskan kenapa ia tidak melakukan hal
tersebut. Ia yang biasanya cukup diam saja di rumah ketika sedang ada perayaan
besar agama lain, kini harus mencari cara untuk menjelaskan bahwa ia tidak
merayakan hari raya tersebut karena alasan agama.
Meski
begitu, hidup sebagai minoritas membuat dirinya semakin merasakan indahnya
menjadi seorang muslimah. Selalu terukir di benaknya betapa bahagianya dirinya
ketika merayakan idul adha bersama orang-orang Pakistan dan India yang
jumlahnya hanya puluhan di kota tempatnya tinggal. Betapa menyenangkannya
menjelaskan ketika orang-orang non muslim menanyainya soal jilbab dan
keyakinannya. Betapa berharganya memiliki seorang teman muslim yang bisa diajak
shalat berjamaah. Di tahun ini pula, ia mulai tersadar bahwa dirinya perlu
meningkatkan kapasitas diri sebagai muslim dengan memperbaiki kaidah membaca Al
Qurannya. Maka dari itu, setelah ia tiba di bumi ibu pertiwi, ia segera
mendaftarkan dirinya untuk mengikuti les tahsin Al Quran di lembaga yang
direkomendasikan kakak kelasnya.
Awalnya
ia santai-santai saja ketika datang mendaftar, namun apa yang terjadi? Di sana
banyak ibu-ibu, bahkan nenek-nenek yang semangatnya sangat menggebu untuk
mempelajari kaidah membaca Quran, dan pendaftaran les mengaji pun terasa
seperti antrean di bioskop ketika sedang ada premiere film yang super hits.
Padat merayap—namun worth it. Hal
tersebut pun membangkitkan semangatnya dan ia berkomitmen untuk mengikuti
kursus tahsin (mengaji) ini hingga tuntas. Namun, setelah proses pembelajaran
dijalani, bukan main rintangan yang menghadang karena kursus mengaji diadakan
setiap akhir pekan yang merupakan sumber dari segala kemalasan. Alhamdulillah.
materi yang didapatnya pada kelas tahsin selalu terngiang di telinganya, bahwa
“mempelajari Al Quran adalah sebaik-baik kesibukan”, dan bahwa “sekali setan
berhasil membujukmu untuk tidak datang, besok-besok ia akan membujukmu lagi
untuk tidak datang” mendorongnya untuk bangkit dari sindrom magernya.
Ia
bertahan kursus mengaji hingga tahun pertama di bangku kuliah, dan di tahun
kedua kuliah, ia memberanikan diri untuk menjadi bagian dari mahasantri
(mahasiswa dan santri) di sebuah yayasan yang memfasilitasi mahasiswa yang
berkeingininan untuk menghafal Al Quran. Ketika mendaftar, ia merasa masih
banyak orang yang jauh lebih baik daripadanya—belum pantas ia berada bersama
para penghafal Al Quran. Namun, di satu sisi, ia ingat bahwa bisa saja perasaan
ragu tersebut datangnya dari setan yang ingin menjauhkannya dari Al Quran, maka
ia tetap mendaftar dan mengambil kesempatan emas tersebut ketika ia berhasil
diterima.
However, you can’t have
a rainbow without a little rain. Ia harus
adaptasi mati-matian karena kehidupannya berubah 180 derajat sejak tinggal di
asrama bersama para mahasantri lainnya. Ketika pulang, ia tidak hanya
memikirkan tugas kuliah, namun juga hafalan dan jumlah ayat yang telah
dibacanya hari ini. Tidak jarang pula ujian di kampus dilaksanakan secara
berbarengan dengan ujian di asrama. Dirinya pun sering sakit karena kini sering
kurang tidur. Namun sekali lagi, jalan orang yang sukses tak selalu mulus. Ia
kembali mengingat tujuan awalnya untuk menghafal Quran: agar meraih ridha Allah
dan kelak di akhirat dapat memberi orang tua mahkota yang sinarnya lebih
berkilau dibandingkan sinar matahari. Hal itulah yang membuatnya bertahan
menghafalkan Quran, meskipun ia tidak seleluasa dahulu untuk belajar dan
bersantai. Allah pun menunjukkan, bahwa dengan mengutamakan Al Quran,
mendahulukan akhirat dibanding dunia, seseorang tidak akan kehilangan dunia. Ia
berhasil membuktikan kepada dirinya bahwa waktu belajar tidak selalu
berkorelasi signifikan dengan IPK. Selalu ada variabel sekunder yang
memengaruhi IPK, salah satunya adalah “campur tangan” yang menciptakan
orang-orang yang membuat soal dan memberikan penilaian.
Perempuan
itu hanyalah secercah buih di lautan yang luas—hanyalah seorang muslimah yang
memiliki mimpi agar kelak, ia dapat menjadi salah satu ummat yang di dadanya
terdapat Al Quran. Yakni, menjadi sosok yang dapat membaca Quran sebagaimana
yang dicontohkan Rasulullah SAW, yakni tanpa harus melihat mushaf dan
mengamalkan nilai-nilai dari Al Quran dalam segala aspek kehidupan. Perempuan
ini sadar, bahwa jalan dakwah dan jalan kebaikan itu tidak pernah sinonim
dengan kata “mudah”. Perempuan ini belajar, bahwa ketika ia kesulitan menghafal
Al Quran, sesungguhnya itu adalah blessing
in disguise—rahmat Allah yang terselubung. Betapa tidak? Semakin sulit
menghafal, maka semakin sering ia harus mengulang ayat yang dihafalnya—sehingga
makin banyak pula pahala kebaikan yang ia peroleh dari setiap huruf yang ia baca.
Berlama-lama menghafal Qur’an menunjukkan bahwa ia sedang berlama-lama dalam
suatu agenda kebaikan. Pahala suatu amalan pun bergantung pada niat, jadi jika
ia sudah berniat untuk menjadi penghafal Quran, terus mengulang-ulang
hafalannya, dan meninggal ketika belum menjadi hafidzah 30 juz, maka InsyaAllah
Allah akan melihatnya sebagai hafidzah karena niat dan usahanya tersebut.
Perempuan
itu adalah saya. Saya, yang menyayangi kalian karena Allah dan ingin terus
berhijrah bersama kalian agar kita dapat dipertemukan di jannah-Nya kelak.
Comments