Bagaimana Gambaran Jiwa yang Sehat Dalam Pandangan Islam?



oleh: Haniva Ihsani Faisal

Jiwa itu diciptakan. Bukan lahir begitu saja tanpa pencipta. Maka penting bagi kita yang ingin memahami jiwa secara lebih mendalam, untuk memahami sifat-sifat jiwa tersebut dari Sang Pencipta jiwa. Terutama agar kita mampu memaksimalkan potensi jiwa dan mengusahakan diri agar menjadi pribadi yang sehat jiwa.

Berbagai bentuk kepribadian yang sehat telah dijelaskan melalui sudut pandang psikologi modern. Misalnya tokoh yang terkenal dengan teori hierarki kebutuhan manusia, Abraham Maslow. Maslow menganggap gambaran dari kepribadian yang sehat adalah mereka yang berhasil mengaktualisasi diri dengan mengembangkan berbagai potensinya, sehingga dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.

Kondisi jiwa yang sehat identik dengan output kepribadian yang sehat pula (Djumhana et al., 2003). Karakter kepribadian yang sehat dalam agama Islam dapat dijelaskan melalui konsep Ulul Albab, yang berarti 'orang orang berakal'. Konsep Ulul albab dapat digambarkan dengan insan-insan yang senantiasa memfungsikan akal budinya untuk mengamati, memikirkan, dan menelaah alam semesta, kemudian memahami bahwa alam ini tidak diciptakan secara acak-acakan tanpa aturan. Hal ini sesuai dengan firman Allah surah Ali Imran ayat 190-91, yaitu:
“ Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali-‘Imran: 190-191).

Jika diletakkan dalam tataran psikologi modern, Ulul Albab adalah muslim yang mampu optimal dalam memfungsikan potensi rasional (IQ/intelligent quotient), emosional (Emotional Quotient/EQ), dan spiritual (spiritual quotient/SQ) (Djumhana et al., 2003). Menurut Djumhana et al. (2003), individu yang baik IQ, EQ, dan SQ nya dianggap mampu untuk berpikir secara filosofis dan transendental (melampaui pemahaman terhadap pengalaman biasa), namun juga tidak melupakan aspek rasional dan empiris yang menunjukkan pentingnya pemahaman logis dan pemahaman melalui observasi.

Berdasarkan makna ayat yang telah disebutkan diatas, Djumhana et al. (2003) memperkirakan Ulul albab sebagai muslim yang senantiasa mengingat Tuhan dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan senang maupun susah. Dua kriteria utama seseorang disebut ulul albab adalah cerdas dan beriman, yang menunjukkan individu ini dikaruniai kemampuan pikir dan dzikir yang baik.

Lalu, bagaimana keutamaan 'orang-orang berakal' tersebut?
Mereka adalah orang-orang yang 1) menjaga hubungan dengan Tuhan mereka (hablun minallah), 2) mereka yang menjaga hubungan antar pribadi (hablun minannas), 3) mereka yang menjaga hubungannya dengan dirinya sendiri (hablun minannafs), dan 4) mereka yang menjaga hubungannya dengan alam (hablun minal 'alam)

Apakah kita merupakan bagian dari 'orang-orang berakal' itu?

 Wallahu 'alam. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang mengusahakannya..

#YukUsaha #BerakalButuhIlmu



Referensi
Djumhana H., Mujilan, Bastaman, Hasyim H., Syahrial (2003). Islam untuk disiplin ilmu psikologi. Buku Daras Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum Program Studi Psikologi: Departemen Agama RI


Comments

Popular posts from this blog

Pengumuman Staff FUSI XV

Konsep Dasar Manusia: FreeWill atau Determinism?