Konsep Dasar Manusia: FreeWill atau Determinism?


NOTULENSI “SITASI” (Diskusi Internal Psikologi Islam FUSI)
Konsep Dasar Manusia : FreeWill / Determinism
  Pandangan Islam terhadap Konsep Dasar Manusia     
   
SELASA, 11 APRIL 2017 / 14 RAJAB 1438 H
PEMBICARA : UST NUR FAJRI ROMADHON

“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya.” (Shahih, Riwayat At Tirmidzi)

Psikologi Barat Memandang Takdir
 Para filosof Yunani Kuno, sejak dulu telah memperbincangkan masalah takdir. Mereka terpisah menjadi dua kelompok. Teori terkenal yang telah mereka hasilkan diantaranya, Freewill oleh David Hume dan Determinism oleh Albert Bandura. Teori Freewill memandang bahwa tidak semua perilaku manusia telah ditentukan. Manusia dengan bebas berkuasa menentukan jalan hidupnya. Oleh karena itu, freewill memandang takdir sebagai sesuatu yang dapat diubah. Sebaliknya, Bandura memandang teori Freewill hanya sebagai ilusi. Ia memandang kejadian yang menimpa manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor di sekitarnya. Artinya, manusia tidak bebas menentukan sendiri jalan hidupnya. Kemudian, bagaimanakah islam sebenarnya memandang masalah takdir?  Marilah kita telisik terlebih dahulu pembahasan berikut ini:

Pandangan Islam tentang Takdir
Hidup selalu menawarkan kita banyak pilihan. Setiap detiknya, setiap individu dihadapkan pada pilihan, baik itu dua maupun lebih. Pada akhirnya, manusia harus memilih pilihan mana yang sesuai dengan harapan Allah subhanahu wa ta’ala.Takdir, merupakan konsep Aqidah yang ditemukan pada rukun iman yang ke-6, yang  ternyata tidak hanya ditemukan dalam kitab suci Al quran. Kitab-kitab terdahulu seperti injil, taurat dan zabur sudah memuatnya. Hal ini dikarenakan aqidah orang-orang beriman terdahulu sama , yaitu islam. Konsep aqidah ini tidaklah berubah (baku), artinya selalu sama pada setiap zamannya.

Sejenak Menilik Hadist Jibril
Hadist jibril merupakan hadist kedua dalam  Arbain Nawawiah. Disebut sebagai Hadist Jibril karena tokoh utama dalam hadist tersebut adalah Malaikat Jibril.
Asal-usul Hadist ini awalnya : Dua orang Tabi’in yang tinggal di Irak kebingungan karena di tempat tinggalnya muncul pemikiran baru yang belum diajarkan sahabat sebelumnya. Tokoh pemikirnya pun bukan berasal dari orang shaleh ataupun memiliki kedudukan penting dalam agama. Akhirnya, mereka pergi ke kota mekah untuk umroh dengan harapan bertemu dengan sahabat senior disana. Kendati sahabat senior telah terpencar-pencar, setidaknya para sahabat kemungkin besar juga sedang melaksanakan umroh. Alhamdulillah, ketika tawaf, mereka bertemu dengan Abdullah bin Umar (Anak dari Umar bin Khattab), kemudian mereka mengadukan hal tersebut kepadanya. Di Irak, ada Pemikiran baru bahwa “Takdir itu Tidak Ada”. Bahwa sesuatu terjadi spontanitas, tidak ada ketentuan awal sebelumnya. Menurut mereka, semua perkara terjadi secara kebetulan. Allah diibaratkan hanya menjadi penonton bagi perisriwa yang akan terjadi karena dianggapnya tidak mengetahui perkara yang terjadi di masa depan. 
Abdullah bin Umar pun menjawab,”Kabarkan kepada mereka bahwa saya berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dari saya.” Artinya beliau tidak setuju dengan pemikiran itu karena hal itu tidak sesuai dengan akidah Islam.

Hadist Jibril menjelaskan iman tehadap takdir:
Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata :
Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba, muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.

Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.

Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”
Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”
Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”
Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”
Aku menjawab,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim, no. 8]

Ibroh dari hadist ini : 1. Bolehnya bersandiwara karena Nabi shalallahu’alaihi wassalam sebenarnya    tahu  bahwa tahu bahwa orang itu adalah Jibril.
2. Membantah pihak-pihak yang menyimpang tentang masalah takdir (Rukun iman yang ke-6). Nabi menekankan pada kata beriman kepada takdir yang kelihatan baik maupun kelihatan buruk. Nabi menekankan pada rukun iman ke 6 karena umatnya lebih beresiko menyimpang pada hal ini dibanding kelima rukun iman sebelumnya, terbukti pertama kali pemikiran menyimpang tentang rukun iman adalah masalah takdir.


Tingkatan Takdir                                                     
Tingkat I : Ilmu
Allah mengetahui segala sesuatu yang; sebelum terjadi (tidak lupa), sedang terjadi (tidak lalai), setelah terjadi (tahu), bahkan sesuatu tidak terjadi jika seandainya terjadi.
Di dalam Ayat kursi:
             “…Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka (masa depan) dan di belakang mereka (masa lalu) … .” [Qs Al-Baqarah (2) : 255]
             
Allah Maha Mengetahui yang tidak terjadi keadaannya jika ia terjadi.
Orang munafik saat perang tabuk tidak mau mengikuti perang dengan alasan :
1.     Takut tergoda wanita Nashrani saat perang Tabuk yang melawan Romawi
2.     Jauhnya perjalanan untuk mencapai dataran syam (> sebulan) dan musim panas yang sangat terik
3.     Musim panen, nanti hasil panen terbengkalai karena tidak ada yang memetik.

Kemudian, Allah menghibur Nabi:  

            لَوْ خَرَجُوا فِيكُمْ مَا زَادُوكُمْ إِلَّا خَبَالًا
            “Jika mereka berangkat bersamamu, niscaya mereka tidak menambah kepadamu selain dari kerusakan belaka… .” [Qs At-Taubah (9): 47]
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah mengetahui akibat sesuatu yang tidak terjadi, yaitu jika seandainya mereka ikut pergi, mereka tidak akan menambah kekuatan pasukan, sebaliknya malah mengacaukan barisan mereka.

Di dalam ayat lain, dikisahkan bahwa Orang Musryikin akan menyesal karena tidak beriman di dunia Kemudian,  meminta dikembalikan lagi ke dunia sebentar saja untuk beriman. Namun, Allah berfirman:

            َلَوْ رُدُّوا لَعَادُوا لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
            “… Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta-pendusta belaka.” [Qs Al-An’am (6) : 28]
             
Kenyataannya, orang musyrik tidak akan dikembalikan lagi ke dunia. Namun, Allah mengetahui bagaimana keadaannya jika orang musryik dikembalikan ke dunia, yaitu niscaya mereka tidak akan beriman. Ini menunjukkan ilmu Allah pada tingkatan pertama, yaitu Allah memiliki ilmu tentang segalanya. Hal ini yang ditentang dari pemikiran orang Irak tadi bahwa ‘Allah tidak mengetahui hal yang terjadi di masa depan’, ‘Allah kaget dengan sesuatu yang tidak terduga’, dsb. Padahal :

         “Orang-orang yang sudah ditakdirkan masuk surga dan yang sudah ditakdirkan masuk neraka tidak akan berubah dari apa yang sudah ditentukan di zaman azali (waktu belum diciptakan).”
[Asy-Syaikh Al-Falimbany
dalam Fathul Majid syarh Jawharah Tauhid]




Tingkat II: Kitabah
[Takdir ditulis beberapa kali]

1.     Tingkatan Pertama, di Lauh Mahfudz
Pertama, Allah menciptakan pena untuk menulis takdir segala sesuatu sampai hari kiamat, yang dicatat pada Lauh Mahfudz. Nabi shallallahu ‘alai wassalam pun ketika isra’ mi’raj mendengar suara “pena” tersebut yang sedang menuliskan takdir. Allah telah menetapkan takdir 50.000 tahun sebelum langit dan bumi diciptakan, seperti yang dimuat dalam hadist :

            كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ، قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ، بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ
            ‘Allah mencatat seluruh takdir para makhluk 50.000 tahun sebelum Allah  menciptakan langit dan bumi.’ [Hr Muslim]
             
*50.000 tahun di sisi Allah, dimana 1 tahunnya setara dengan 1000 tahun di dunia (Menurut Surah As Sajdah (32) : 5)

2.     Tingkatan Kedua, di Rahim
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
            “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” [Qs Al-Hajj (22) : 70]

Hadist ke-4 dalam Arbain Nawawiah :

Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radhiallahuanhu berkata : Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam menyampaikan kepada kami dan beliau merupakan orang yang benar dan dibenarkan : Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging dalam empat puluh hari. Kemudian, diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : [1] menetapkan rizkinya, [2] ajalnya, [3] amalnya, dan [4] kecelakaan maupun kebahagiannya. Demi Allah yang tidak ada Illah selain-Nya, sesungguhnya diantara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah ia ke dalam neraka. Sesunggunya, di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga ,maka masuklah dia ke dalam surga. (HR Bukhori dan Muslim)

Ketika janin berusia 4 bulan, malaikat meniupkan ruh dan menuliskan takdir si bayi tentang 4 hal:
[1]  Rizki : Jatah hidupnya, rizkinya berapa, apa yang didapatnya di dunia
[2] Ajalnya: bagaimana, kapan, di mana
[3] Amal : amal apa saja yang dikerjakan
[4] Secara umum termasuk orang yang bahagia / sengsara
             
Tingkatan ketiga : Lailatul Qadar [ Satu Tahun Sekali ]
Allah menuliskan takdir pada malam Lailatul Qadar setiap tahunnya. Menurut Jumhur ulama, lailatul qadar ini berpindah-pindah antara 10 malam terakhir yang ganjil pada bulan Ramadhan. Sebagian ulama mengatakan pendapat yang paling kuar pada malam ke-27 karena pada surah Al Qadar kata hiya (malam tersebut) ada pada kata yang ke 27.
§  Allah berfirman pada surat Ad Dukhan (44) : 4

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [Ad Dukhan (44) : 4]
Tafsir : Urusan yang dimaksud disini merupakan urusan dalam setahun kedepan.
§  Allah berfirman dalam surat Ar Rahman bahwa takdir ditulis setiap hari.
§  Tafsir Ibnu Thabari : Allah menentukan takdir setiap hari apa yang dilakukan fulan maupun fulanah

Dapatkah Takdir Diubah?

Takdir yang Bisa Diubah

Takdir seluruhnya dapat diubah kecuali takdir yang ditulis di Lauh Mahfudz. Takdir dapat diubah dengan memilih pilihan lain, berdoa, silaturahmi, sedekah, dll. Mulanya, seseorang ditakdirkan tertabrak, namun sebelum pergi, ia berdoa “Bismillahi tawakkaltu ‘alallah la hawla wa laa quwwata illa billah”,lalu ia tidak jadi tertabrak.
Nabi shallallahu ‘alayhi wassalam pun bersabda “Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa.”
Doa dan takdir berduel di langit, siapa yang menang ia yang terjadi (Imam Ahmad).

            يَمۡحُواْ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ وَيُثۡبِتُۖ وَعِندَهُۥٓ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ
            Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh) [Qs Ar-Ra’d (13): 39]
             
Tafsir: Semua takdir yang telah ditulis tadi dapat diubah kecuali yang ada di Lauh Mahfudz. Allah sengaja membedakan yang takdir yang di Lauh Mahfudz dan takdir yang tertulis, supaya hambanya berdoa, silaturahmi, berusaha, dll. Misalnya, rezeki seseorang hari ini tertulis hanya Rp300.000,-, tapi ia berdoa sebelum berusaha, akhirnya bertambah jadi Rp500.000,-

    “Apapun jua pekerjaan manusia, hasil akhirnya sudah ada catatannya di sisi Tuhan dan telah diketahui ke mana maksudnya.”
[
Prof Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar]
     
Tingkat III: Iradah (Berkehendak) & Masyiah

                         “…Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya) niscaya disesatkan-Nya, dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk mendapat petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.” [Qs Al-An’aam (6) : 39]
                         
                        وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
                        Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” [At-Takwiir (81) : 29]
                         
                        “Generasi awal kaum muslimin bersepakat bahwa Allah berhak memberi hidayah, menyesatkan, mengazab, dan memberi nikmat kepada siapa yang Dia kehendaki.”
[  Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (w. 330 H) dalam Risalah Ila Ahlits Tsaghr]

Tingkat IV: Khalq (Mewujudkan Takdir)

            Allah mengetahui, menulis, menghendaki, kemudian mewujudkannya. Semua yang telah terjadi di dunia pasti itu ciptaan Allah, termasuk yang dikerjakan manusia. Misalnya orang bersedekah. Yang memberikan sedekah memang orang itu, namun Allah lah yang menciptakan sedekah dan mewujudkannya.
                        وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ

“Padahal, Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“  [Qs Ash-Shaffat (37): 96]
Perbuatan manusia semuanya ciptaan Allah. Tidak ada yang bukan ciptaan Allah karena Allah menciptakan segala sesuatu tanpa terkecuali. Semua hal sudah terjadi; sakit, hujan lebat penyebab banjir, Allah lah yang menciptakan.

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
Allah Yang menciptakan segala sesuatu… .” [Az-Zumar (39) : 62]

Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
                        “Iman kepada takdir ialah pengunci tauhid. Barangsiapa mengingkari takdir, berantakanlah tauhid.” [Hr At-Tirmidzi]
                         
            Iman kepada takdir sangatlah penting. Jika diibaratkan kalung berisi manik-manik, ialah talinya. Jika tali itu putus, berjatuhanlah manik-manik tersebut. Jika rusak imannya mengenai takdir, maka iman-iman yang lain akan runtuh. Oleh karena itu, iman kepada takdir ditaruh di urutan terakhir.

SEBELAS KAIDAH PENTING dalam Takdir
[Aqidah yang harus diyakini seyakin-yakinnya]

1.     KAIDAH PERTAMA : Allah Maha Adil, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Bijaksana, mustahil dzhalim.
Allah tidak mungkin dzalim (menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya), tidak pernah salah menerapkan takdir karena Allah maha tahu yang terbaik untuk hambanya. Allah pasti adil dalam menetapkan takdir masing-masing hambanya.

 “Generasi awal kaum muslimin bersepakat bahwa Allah Maha Adil dalam semua perbuatan dan ketentuan-Nya. Baik itu membuat kita sedih ataupun membuat kita senang.” [Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (w. 330 H) dalam Risalah Ila Ahlits Tsaghr]
             
2.     KAIDAH KEDUA : Allah melakukan Apapun tanpa didorong oleh faktor luar,
 Allah maha berkehendak, tidak ada paksaan dari luar yang mempengaruhinya dalam menentukan takdir. Semua yang Dia takdirkan pasti memiliki hikmah sekalipun mungkin tidak kita ketahui seluruhnya. Semua takdir Allah diyakini memiliki dampak positif, sekalipun memiliki dampak negatif, dampak positifnya InsyaAllah lebih banyak. Jika kita belum mencerna hikmah dibalik takdir, yakini setiap yang Allah ciptakan pasti terdapat hikmah di dalamnya. Acapkali, kita mengetahui hikmah dibalik takdir Allah setelah musibah terjadi. Terdapat suatu kisah di zaman khalifah Abbasiah, dimana terdapat dua perintah jihad dan pastinya semua orang ingin berjihad. Namun, ada seseorang yang sedang berkuda lalu cedera sehingga tidak bisa jihad. Akhirnya, ia tidak diterima seleksi jihad. Selesai perang, ternyata musuh mengalahkan pasukan, yang hidup disuruh murtad. Akhirnya, pemuda itu sadar cedera kaki lebih baik daripada ia disuruh murtad.
Seorang raja hobi berburu. Suatu ketika, jarinya putus akibat berburu. Ia kecewa karena tidak dapat berburu lagi. Lantas, ia bertanya kepada ulama, ia pun dijawab “Ini semua takdir Allah, harus sabar tuan.” Ulama tersebutpun dihukum. Suatu saat, ia pergi berburu lagi membawa pasukan. Ternyata, rombongannya ditawan oleh suku kanibal untuk dimakan. Ketika dilihatnya jarinya putus, raja diusir dan bisa pulang. Ia bersyukur, lebih baik jarinya putus daripada ia dimakan. Cepat atau lambat, kita akan mengetahui hikmah dibalik takdir kita.

3.     KAIDAH KETIGA
Tidak ada di alam semesta sesuatu yang terjadi di luar kehendak, kekuasaan, dan pengetahuan Allah. Ketika Allah menginginkan sesuatu, tidak mungkin terjadinya bertentangan dengan keinginan Allah. Seseorang ingin seseorang jahat, apabila Allah berkehendak ia jadi baik, maka ia menjadi orang baik. Takdir Allah tidak akan kalah dengan keinginan hambaNya.
Kisah : Ada orang yang tidak percaya takdir, Allah tidak bisa mengendalikan takdirnya. Di kapal, ia berbicara dengan orang majusi, yang meyakini ada dua tuhan, tuhan pencipta keburukan dan tuhan pencipta kebaikan. Akhirnya, orang ini berdoa “Ya Allah, Jika Engkau Berkehendak, selamatkan kapal ini, Jika Engkau tidak berkehendak, ya sudah. Pokoknya mau berkehendak, tidak berkehendak, selamatkan kami. Kemudian, pemuda Majusi bertanya,” Jika Tuhanmu berkehendak kita selamat, namun orang-orang merusak kapalnya, manakah yang akan terjadi?”. Pemuda tersebut menjawab, “ tenggelam,” Majusi membalas, “Kalau begitu, saya tidak mau beriman kepada Tuhan kamu, masa Tuhanmu kalah sama orang di kapal.”. Orang ini menyuruh majusi masuk islam, namun majusi bertanya kepadanya, “Kalau ada orang digoda iblis untuk jahat, namun diajak Allah untuk shaleh. Ternyata orang ini jahat. Siapa yang menyuruhnya jahat?” Pemuda tersebut menjawab,” Iblis”. Majusi menjawab,“Wah, berarti payah Tuhan kamu kalah sama iblis. Tuhan kamu maunya shaleh, iblis maunya jahat, terus jadi jahat karena si iblis”.
Kisah : Seseorang kehilangan unta, kemudian mendatangi ulama dengan pemahaman takdir menyimpang. “Wahai syech, unta saya hilang. Tolong berdo’a supaya unta saya kembali.”. Syech pun berdoa,” Ya Allah, Jika Engkau berkehendak, maka kembalikanlah unta.” Dia tidak meyakini bahwa Allah mempunyai kehendak sebelumnya, semua terjadi begitu saja. Akhirnya, orang yang kehilangan unta berkata,” Wahai syech, saya tidak mau mengamini doamu. Masa, jika Allah berkehendak Dia baru akan mengembalikan unta saya,jika Allah berkehendak unta saya tidak balik atau unta saya Allah tidak menghendaki balik, masa Allah membiarkan unta saya hilang? Ia menunjukkan jika berdoa tidak perlu memakai “Jika Allah berkehendak”, karena seolah-olah Allah tidak dapat mengembalikan unta yang hilang. Seolah-olah semua hal yang terjadi tanpa campur tangan Allah, karena tidak mungkin sesuatu terjadi di dunia tanpa campur tangan Allah.

4.     KAIDAH KEEMPAT
§  Barometer utama baik atau buruknya sesuatu ialah agama.
§   Sebagian orang yang berpemahaman menyimpang meyakini bahwa Allah hanya menakdirkan sesuatu yang baik, sedangkan sesuatu yang buruk bukan diciptakan oleh Allah. Jadi, apabila seseorang melakukan hal yang baik menurutnya, yang menakdirkan ialah Allah, sedangkan jika seseorang berbuat buruk, bukan Allah yang menakdirkannya.
§   Keyakinan yang benar sejatinya Allah menciptakan segala takdir, baik yang kelihatan baik maupun yang kelihatan buruk. Namun, perlu ditekankan bahwa takdir yang kelihatan buruk pun sebenarnya baik. Barometer utama baik atau buruknya sesuatu ialah agama. Sesuatu yang menurut kita baik menurut Allah belum tentu baik. Namun, sesuatu yang baik menurut Allah sejatinya baik untuk kita. Allah lebih mengetahui mana yang lebih baik.
§  Akal memiliki kemampuan itu tetapi terbatas.
§  Akal jika ia lurus, maka tidaklah ia menyelisihi kehendak Allah. Jika akal bertolak belakang dengan ajaran Allah pada Al Quran, Sunnah, maupun Takdir Allah, Akallah yang salah. Karena seandainya akalnya lurus, ia yakin Allah tahu sedangkan hambanya tidak tahu. Allah tahu yang terbaik bagi hambanya adalah apa yang Dia takdirkan, bukan yang hambaNya yakini. Penglihatan dan Ilmu Allah meliputi segalanya sedangkan hamba terbatas.

5.     KAIDAH KELIMA: Allah tidak wajib selalu melakukan yang kita sangka baik.
§  Sesuatu yang baik menurut hamba yang satu berbeda dengan kebaikan bagi hamba yang lain. Jika seperti ini, kehidupan menjadi rusak.  
§  Menurut Al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, sering kali kita menyakini bahwa sesuatu adalah baik, padahal sebenarnya tidak baik.
§  Allah berfirman dalam surat Al Baqarah (2) : 216
“Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah:216)

6.     KAIDAH KEENAM : Manusia diberikan pilihan, kehendak, dan akal oleh Allah
Allah memang sudah menetapkan takdir sebelumnya, namun manusia tetap diberi pilihan. Tidak ada yang memaksa seseorang untuk condong memilih pilihan satu dibanding pilihan lainnya. Misalnya, waktunya sholat Allah tidak yang memaksa orang untuk sholat. Walaupun ada dosa di depan mata, itu merupakan pilihannya sendiri. Kita juga dikaruniai akal untuk memilah mana yang baik dan mana yang buruk

7.     KAIDAH KETUJUH : Manusia tidak tahu takdirnya kecuali setelah ia terjadi.
Manusia tidak boleh memilih untuk melakukan dosa diantara dua pilihan dan menganggap itu melakukan dosa merupakan hal yang ditakdirkan Allah. Karena manusia belum tahu hal teersebut merupakan takdir Allah sebelum ia terjadi. Manusia tidak mengetahui apa yang akan dilakukannya nanti malam, esok hari dst. Saat terjadi baru ia mengetahui bahwa itu takdir. Oleh karena itu, Setiap detiknya selalu ada  dua maupun lebih yang ia tidak ketahui mana yang merupakan takdirnya. Yang harus dipilih manusia ialah yang terbaik untuk Allah.

            إِنَّا هَدَيۡنَٰهُ ٱلسَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرٗا وَإِمَّا كَفُورًا
            Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang ingkar. [Qs Al-Insan (76): 3]
             
            وَهَدَيۡنَٰهُ ٱلنَّجۡدَيۡنِ
            Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. [Qs Al-Balad (90): 10]
             
Di dalam urusan dunia, kita selaku memilih yang terbaik. Begitulah seharusnya dalam urusan ibadah, pilihlah mengusahakan yang terbaik. Jika kita mengetahui hal yang terjadi di masa depan, kita malas-malasan. Karena kita tidak tahu, kita disuruh semangat. Jika Allah telah menakdirkan sesuatu, untuk apa kita beramal?
                         
                        “Ya Rasulullah! Apakah kita pasrah saja dengan apa yang dituliskan untuk kita dan kita tidak beramal? Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab,” Hendaklah kalian beramal ! Setiap orang akan dimudahkan sesuai dengan tujuan dia diciptakan.” (HR. Muslim)

            Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam membacakan surah Al Lail (92) :5-7:
                        “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah (QS. Al Lail (92) : 5-7)
             
8.     KAIDAH KEDELAPAN : Dzhalim itu menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Allah tidak dzalim karena selalu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Tidak dikatakan dzalim bagi orang yang membeda-bedakan karena Adil bukanlah menyamaratakan, tapi menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Bagaimana Allah dzalim padahal kita ciptaan Allah.

9.     KAIDAH KESEMBILAN
Jika Allah Menghendaki belum tentu mencintai. (sesuatu yang buruk tidak dicintai, namun dikehendaki karena adanya hikmah)
            Misalnya,
§  Allah menghendaki hambanya yang shaleh sakit, padahal Dia tidak menyukainya.
§  Allah berkehendak adanya dosa tapi Allah tidak mencintai adanya dosa.
§  Seperti ayah yang berkehendak agar anaknya yang menderita tumor untuk dioperasi. Namun, Ibunya menolak karena tidak menyukai anaknya dioperasi.
Kata Imam Al Ghazali, ibunya ini musuh dalam perwujudan teman
Mencintai belum tentu menghendaki
§  Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka saling mem-bunuh. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” [Qs Al-Baqarah (2) : 253]
§  “…Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk … .” [Qs Al-An’aam (6) : 35]
§  Dan kalau Allah menghendaki niscaya mereka tidak memper-sekutukan(-Nya)… .” [Qs Al-An’aam (6) : 107]
§  Dan jikalau Rabb-mu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya… .” [Qs Yunus (10): 99]

10. KAIDAH KESEPULUH : Tidak boleh menjadikan takdir alasan dari keputusan dosa yang kita pilih
Karena ketika kita diberi dua pilihan, ia tidak tahu yang mana takdirnya. Oleh karena itu jangan menjadi kan alasan takdir Allah atas pilihan berdosa kita. Pilihlah pilihan yang baik karena dosa mengantarkan ke dosa lainnnya, begitu juga pahala

Bahasan Takdir dalam Kitab Terdahulu
o    Taurat (Perjanjian lama) : Daniel 4: 35
o    Zabur (Mazmur) 139: 16
o    Injil : Yesaya 14: 24 dan Yesaya 45: 7

Efek Positif Iman Kepada Takdir
            1. Mengokohkan iman
            2. Positive thinking (terdapat hikmah dibalik segala sesuatu)
            3. Selalu bersyukur (Allah telah menetapkan yang terbaik untuk kita)
            4. Low profile (Ini bukan akibat saya, tapi takdir Allah)
            5. Tidak terlalu menyesal
            6. Terus bersemangat
            7.  Jauh dari takhayyul
             
Tidak bolehnya mengatakan “Lau” : “Seandainya”
“....Maka, janganlah kamu mengatakan,’ seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini dan begitu.’ Tetapi katakanlah,’ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki’. Karena seandainya akan membuka pintu pebuatan setan.” (HR Muslim)
             
Kesimpulan : Islamic Concept of Destiny: Free Will or Determinism?
Free will: David hume (1711-1776)
Determinism: Albert bandura (1925-now)

Freewill                                                           Determinism

Kita tidak mendasarkan pada teori utuh kedua filosif ini karena tidak berdasarkan kitab suci.  Kebenaran absolut berada di sisi Allah, yang terletak diantara kedua teori tersebut.
§  Freewill di mana tidak mempercayai bahwa Allah telah menentukan takdir sebelum ia terjadi ( seperti kelompok Qodariyyah). Padahal ada ketentuan sebelumnya, tetapi Allah tidak memaksa.
§  Determinism, menafikan adanya kehendak hamba dalam perbuatannya (seperti kelompok Jabariyah). Ini keliru karena sebenarnya Allah menentukan kita memilih pilihan juga.




Comments

Popular posts from this blog

Pengumuman Staff FUSI XV

Bagaimana Gambaran Jiwa yang Sehat Dalam Pandangan Islam?