Authoritative Parenting dan Pengasuhan Anak dalam Islam











Departemen Pengembangan Psikologi Islam (P2I)

Oleh: Dhia Annia



Perkembangan anak merupakan isu yang selalu menarik dibahas dan seakan tidak ada habisnya. Berbagai metode baru pola asuh terus diperkenalkan demi mencapai tujuan tumbuhnya anak yang sehat baik secara fisik maupun mental. Pengasuhan sendiri menurut Hoghugi (2004 dalam Pristiwa, 2010) adalah aktivitas yang bertujuan untuk memastikan kelangsungan hidup dan perkembangan anak. Islam sebagai agama yang lengkap dan universal tentu membahas pula bagaimana cara orangtua mendidik anak sesuai dengan ajaran dari-Nya. Namun bagaimanakah kesesuaiannya dengan konsep dan penemuan yang dikemukakan ilmu psikologi perkembangan?

Bicara mengenai pola asuh, penelitian Diana Baumrind mengenai hubungan perilaku anak dengan pola asuh orangtua bisa dibilang memiliki pengaruh luas. Beberapa terminologi yang ia gunakan untuk menjelaskan tipe pola asuh adalah authoritarian parenting yang menekankan pada kontrol dan kepatuhan anak, permissive parenting yang menekankan pada self-expression dan self-regulation anak, dan authoritative parenting yang menggabungkan penghargaan akan individualitas anak dengan usaha untuk tetap menanamkan nilai sosial (Papalia & Martorell, 2015). Selanjutnya Eleanor Maccoby dan John Martin (1983 dalam Papalia & Martorell, 2015) menambahkan gaya pola asuh keempat, yaitu neglectful/uninvolved parenting untuk menggambarkan orangtua yang lebih fokus kepada kebutuhan mereka sendiri dibanding anaknya (terkadang disebabkan oleh stress dan depresi). Baumrind menekankan pentingnya orangtua untuk menerapkan pola asuh authoritative di mana orangtua bersikap penuh kasih sayang namun tetap memberi batasan yang tegas dalam mengontrol bagaimana anak berperilaku. Inductive discipline juga diterapkan dalam pola asuh ini di mana orangtua mengajak anak secara langsung menyadari konsekuensi dari yang ia lakukan melalui penjelasan, diskusi, dan negosiasi (Papalia & Martorell, 2015)

Akan tetapi, bagaimana Islam memandang pengasuhan terhadap anak? Huda (2010) merangkum setidaknya terdapat lima pilar untuk menjadi keluarga teladan: (1) memiliki visi dan misi yang jelas, yaitu saling menjaga dan memelihara dalam ketaatan Allah SWT.; (2) membangun keyakinan terhadap turunnya pertolongan Allah SWT. yang dilandasi dengan kegigihan berusaha dan berikhtiar; (3) membudayakan diskusi dan musyawarah antara sesama anggota keluarga sehingga timbul pemahaman dan pengertian yang baik; (4) selalu berdoa dan memohon kepada Allah SWT. agar mendapatkan anak dan keturunan yang salih dan salihah sebagai pewaris dan penerus perjuangan orangtuanya; dan (5) membangun semangat berkorban untuk menumbuhkan kecintaan kepada Allah SWT. dan kecintaan sesama manusia.

Contoh yang umum mengenai pengasuhan orangtua kepada anaknya dalam Islam adalah kisah Nabi Ibrahim AS. dan Luqman Al-Hakim. Nabi Ibrahim yang dijuluki bapak para nabi berhasil mendidik putranya, Ismail dan Ishaq menjadi pemuda yang saleh dan memasrahkan hidupnya kepada Allah SWT. Kehidupan keluarga Nabi Ibrahim memenuhi semua pilar keluarga teladan yang telah disebukan di atas, seperti yang tercatat dalam surat Ash-Shafat (37):99-103. Luqman Al-Hakim juga tidak kalah luar biasanya dengan nasihatnya yang terangkum dalam Surat Luqman (31): 13-19. Secara umum nasihat Luqman dapat dikategorikan menjadi: (1) nasihat tentang keimanan, (2) nasihat tentang peribadatan, (3) nasihat tentang akhlak, dan (4) nasihat tentang dakwah (Jamilah, 2004)

Apabila kita menilik lebih dalam, pengasuhan yang diterapkan oleh nabi Ibrahim AS. dan Luqman memiliki beberapa kemiripan dengan tipe authoritative parenting Baumrind. Allah berfirman dalam Surat Ash-Shafat (37):102



فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".



Nabi Ibrahim tidak menggunakan otoritasnya sebagai seorang Ayah, tetapi meminta pendapat Nabi Ismail terlebih dahulu. Nabi Ismail yang saat itu sudah mencapai usia baligh pun tanpa keraguan menyanggupi perintah tersebut, meskipun hal itu tentu sebenarnya penuh dengan dilema. Hasil studi yang dilakukan oleh Boyes dan Allen (1993) mengungkapkan bahwa remaja dengan orangtua authoritative menunjukkan preferensi kepada postconventional moral reasoning dibanding dengan orangtua permisif dan otoriter. Postconventional moral reasoning sendiri adalah tahap tertinggi dalam teori Kohlberg’s Stages of Moral Development, yaitu ketika keputusan individu berdasar pada prinsip yang telah dipilihnya sendiri dan penalaran moralnya didasari oleh hak dan keadilan individual (McLeod, 2013) yang pada Nabi Ismail didasari semata-mata karena iman kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim berhasil mendidik putranya sedemikian rupa sehingga ia mampu memegang teguh keimanannya dalam keadaan apapun. Dengan prinsip yang sudah tertanam begitu kuat, perilaku sehari-hari Nabi Ismail pun tak perlu diragukan lagi keshalihannya.

Begitu pula dengan Luqman Al-Hakim. Nasihatnya penuh akan nilai sarat akan manfaat, baik untuk kehidupan duniawi maupun akhirat. Dalam Surat Luqman (31):13 digambarkan bagaimana Luqman menerangkan pentingnya keimanan dan tauhid sebagai fondasi dasar kehidupan. Pada ayat-ayat selanjutnya dijelaskan bagaimana anak harus berakhlak dan beribadah seperti berbakti kepada orangtua, mendirikan sholat, larangan bersifat sombong, adab berbicara, dan ber-amar ma’ruf nahi munkar. Nasihat ini juga memiliki kemiripan dengan metode authoritative yang tetap mengajarkan kepada anak nilai-nilai yang harus diterapkan dan perilaku yang harus dimunculkan dengan penuh kasih sayang. Ayat ke-16 dalam Surat Luqman juga mengajarkan anak bahwa apapun yang mereka lakukan akan diketahui dan dibalas oleh Allah sesuai dengan perbuatannya, mirip dengan tujuan dari inductive discipline yang mengajak anak untuk melihat konsekuensi dari perilakunya. Ajaran yang diberikan Luqman kepada anaknya bersifat universal dan dapat diterapkan oleh kultur mana pun, karena apa yang terkandung dalam Quran diperuntukkan bagi seluruh umat manusia.



Sebagai kesimpulan, kita sebagai umat muslim harus terus berpegang teguh kepada ajaran Quran dan sunnahnya dalam setiap aplikasi kehidupan, begitu juga dalam pengasuhan anak. Percayalah bahwa apa yang diajarkan dalam Islam akan selalu sesuai fitrah kita sebagai manusia. Apa yang selama ini kita pelajari masih sangat rentan terhadap kesalahan dan koreksi, sedangkan ajaran Islam bersifat mutlak. Tugas kita adalah untuk menggali ajaran tersebut dalam ranah ilmiah dan menemukan betapa Islam adalah agama rahmatan lil’alamin.



Daftar Pustaka
Boyes, M. C. & Allen, S. G. (1993). Styles of Parent-Child Interaction and Moral Reasoning in Adolescence. Merrill-Palmer Quarterly, Vol. 39(4) pp. 551-570
Jamilah, L. N. (2004). Nasehat luqman al-hakim dalam al-qur’an surat luqman ayat 13 - 19 (relevansinya dengan perkembangan kepribadian anak dan implementasinya dalam bimbingan konseling islam). Skripsi, Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang
Pristiwa, M. T. (2010). Membangun komunikasi efektif antara orangtua dan anak dengan menggunakan prinsip-prinsip menjadi orangtua efektif. Tesis, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok
McLeod, S. (2013). Kohlberg. Diakses pada 29 Oktober 2017 melalui https://www.simplypsychology.org/kohlberg.html



Comments

Popular posts from this blog

Pengumuman Staff FUSI XV

Konsep Dasar Manusia: FreeWill atau Determinism?

Bagaimana Gambaran Jiwa yang Sehat Dalam Pandangan Islam?