Dunia Menulis Itu Seperti Rumah





Oleh: Naiva Urfi Layyinah


Menulis, bagiku, seperti pulang. Dunia tulis-menulis adalah rumahnya. Aku sering pergi, tapi selalu merindu kembali. Pernah suatu kali, aku pergi lebih jauh dari biasanya. Saat itu, rumah rasanya luar biasa menjenuhkan. Tapi kemudian, aku hilang arah. Semua jadi asing, termasuk diriku sendiri. Lalu aku memutuskan pulang. Tahu apa yang kutemukan? Diriku yang sebenarnya.

---

Aku dan dunia menulis, pertama kali berkenalan saat usiaku kurang lebih tujuh tahun. Berawal dari hobi membaca, lalu dimodalkan komputer dan dukungan orangtua, aku membangun dunia fiksiku sendiri. Sebagian waktu luangku mulai kuhabiskan di sana. Satu per satu file cerita-ku bertambah. Aku rutin meminta Papa untuk membaca dan berkat tanggapan positifnya, aku semakin giat menulis. Bertahun-tahun, dunia menulis akhirnya menjadi bagian penting dalam hidupku; menjadi rumahku.

Semakin berkembang kemampuan kognitif, semakin luas bahan bacaan, semakin bervariasi pula cerita fiksi yang kubuat. Kelas 6 SD, aku melihat buku cerita yang ditulis anak-anak seusiaku berjejeran di toko buku. Dengan semangat aku langsung membeli dan membacanya. Setelahnya, aku punya tekad baru: ingin menerbitkan buku seperti mereka.

Aku terus menulis, kali ini lebih serius. Beberapa waktu setelahnya, aku mengirim kumpulan cerpen ke suatu penerbit. Cukup lama menunggu. Enam bulan kemudian akhirnya datang surat ke rumahku dari penerbit yang bersangkutan. Apa katanya? Naskahku ditolak. Kecewa, tentu. Selang beberapa waktu kemudian, aku bersemangat lagi karena berhasil menyelesaikan novel. Aku mengirimkan ke penerbit yang sama. Menunggu sekian bulan lagi, hingga akhirnya mencoba menghubungi pihak penerbit. Ternyata sudah ada keputusannya. Jawabannya? Ditolak lagi. Tapi aku tidak terlalu kecewa. Justru bersemangat karena sudah menyiapkan naskah novel lain untuk segera dikirimkan. Aku menunggu beberapa bulan lagi sambil menulis novel lain. Hingga suatu sore, telepon rumahku berdering. Suara di seberang memperkenalkan diri sebagai editor dari penerbit yang kukirimkan naskahnya. Beliau membawa kabar bahwa naskahku dinyatakan layak terbit. Seperti mimpi! Aku makin cinta rumahku.

Satu per satu naskah yang kukirim setelahnya, disetujui penerbit yang sama untuk diterbitkan. 2012 adalah tahun kelahiran buku perdanaku. Alhamdulillah dapat berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya. Terhitung 6 judul novelku yang pernah bermukim di toko buku hingga saat ini, serta beberapa cerita pendek yang diterbitkan bersama penulis lain dalam bentuk komik.

Prosesnya tidak se-instan dan semulus output yang terlihat. Meski aku cinta rumah, jangan kira aku tidak pernah ingin pergi. Aku beberapa kali jenuh, bahkan muak. Lalu aku memutuskan berkelana, berpikir mungkin ada rumah yang lebih layak di luar sana. Akhirnya aku temukan beberapa rumah. Aku nyaman dan tidak ingin ke rumah lama. Tapi, ternyata hanya sesaat. Aku segera sadar, rasanya hampa. Diriku yang sebenarnya, masih tertinggal di rumah itu.

Menulis, bagiku, seperti pulang. Di tengah kesibukkan kegiatan perkuliahan yang beragam, aku akan sangat rindu momen di mana aku bisa kembali duduk di depan laptop dengan tenang, membangun karakter fiksi, menjelajah ide sebebas-bebasnya, mengekspresikan emosi dan pikiran melaluinya. Aku merasa diriku tidak lengkap, ada yang hilang. Lalu saat pulang, aku akan benar-benar bahagia.

Pernah merasa serupa demikian? Kalau iya, jangan pernah menyerah menulis!

Sering aku dengar orang-orang bertanya tentang cara menyelesaikan tulisan. Sejujurnya, itu juga masih kerap kali menjadi tantanganku. Tapi aku tahu modal utama yang selalu kupertahankan saat menyelesaikan novel: tekad, komitmen, konsistensi, kepercayaan diri, doa dan berserah diri. Pertama, tekad kuat untuk menyelesaikan. Saat ia melemah, selalu ingat-ingat alasan kenapa kita memulai, kenapa kita ingin menerbitkan buku, kenapa kita ingin orang-orang mengetahui ide itu. Kedua, komitmen untuk terus menulis dan bertahan hingga selesai. Tanpa komitmen, segala hal baik yang sudah diusahakan di awal akan jadi sia-sia. Ketiga, konsistensi untuk terus menulis seberapa pun jenuhnya. Pergi sejenak boleh, asal kembali lagi. Keempat, kepercayaan diri, baik saat proses menulisnya maupun mempublikasikannya (termasuk mengirim naskah ke redaksi). Terakhir, yang paling penting di antaranya semuanya, berdoa dan berserah diri pada-Nya. Karena sungguh, segala sesuatu (inspirasi, ide, kemampuan, kekuatan, semangat, keyakinan diri) dan segala kemudahan muncul dalam diri kita atas izin-Nya. Semoga dengan begitu, kita juga bisa selalu menjaga niat menulis untuk mencari keridhaan-Nya.



Aku memang masih harus banyak belajar untuk menghasilkan karya yang baik. Aku mungkin saja gagal lagi. Tapi aku tahu, aku selalu dapat pulang dan mencintai rumahku. Kamu pun juga!

Comments

Popular posts from this blog

Pengumuman Staff FUSI XV

Konsep Dasar Manusia: FreeWill atau Determinism?

Bagaimana Gambaran Jiwa yang Sehat Dalam Pandangan Islam?