Syukur Penenang Hati



oleh: Hanny Fauziah (2015)


Aku rasa, setiap dari kita di hari ini pasti sedang menghadapi setidaknya satu hal yang memberatkan pikiran atau hati kita masing-masing. Apapun itu yang bisa saja membuat senyum di wajah kita hilang seluruhnya atau menjadikan helaan nafas kita terasa menyesakkan. Pun aku. Akhir-akhir ini, semua hal berat itu bertumpuk-tumpuk datangnya. Satu permasalahan belum usai, datang yang lain hingga terkadang aku berpikir bahwa aku adalah orang paling menyedihkan sejagad raya. Bahkan tak jarang timbul pertanyaan—serupa keluhan—“Mengapa aku lagi, ya Allah...”

Padahal, Allah mengaruniakan masalah itu pada semua orang yang mengaku bahwa ia mengimani-Nya—bukan hanya aku.

Padahal, justru kehadiran hal-hal berat itu adalah salah satu penanda bahwa kita memang sedang hidup sungguhan—karena hidup tanpa masalah adalah hal yang mustahil, ‘kan?

Padahal, justru bersama datangnya semua hal sulit itu Allah memberi banyak kesempatan untuk kita bertumbuh; jiwanya, hatinya, pemikirannya.

Padahal, jika dilihat-lihat ke sekeliling, apa yang sedang menimpaku sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding orang yang aku temui di lalu lalang jalanan atau kisah di masa lalu tentang generasi terbaik yang pernah menapak di muka bumi; Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam dan para shahabatnya.

Padahal, aku masih dikelilingi kebaikan meski memang hal sulit sedang mewarnai detik-detikku.

Atas banyaknya masalah, aku selalu terkagum akan seluruh cara-cara ajaib yang Allah lakukan untuk menenangkan hatiku di kala kesemua hal itu terasa menguburku hidup-hidup. Ia bisa mengirimkan siapapun atau apapun untuk membisikan padaku bahwa semua akan baik-baik saja dan selalu akan baik-baik saja selama aku yakin bahwa aku memiliki-Nya.

Misalnya saja hari ini, ketika di dalam kereta aku sedang memikirkan hal-hal yang membebani pikiranku satu persatu dan merasa sesak olehnya, Allah memutarkan satu kajian yang aku dengar di YouTube tentang ajaibnya rasa syukur yang dimiliki oleh shahabat Rasul bernama Al-Jurmi. Betapa melalui kajian itu, seolah Allah ingin mengisi kembali rasa syukurku yang kemarin-kemarin menguap tak bersisa dan menciptakan ruang hampa di hatiku. Aku tersadar bahwa semua masalah menjadi sangat berat ketika aku lupa bahwa pertolongan Allah akan datang untuk mengusaikannya dan yang perlu aku lakukan hanya bersabar dengan kesabaran yang jelita—bukannya terus-terus memikirkannya hingga tak bisa tidur.

Pada kajian itu diceritakan ada seorang laki-laki tua yang tinggal di dalam kemah yang terdengar seperti sedang meminta tolong. Ketika didatangi oleh seorang pemuda, ternyata ia sedang berdo’a—ia sedang meminta tolong pada Tuhannya. Saat itu, ia hidup tanpa kedua tangan dan kaki serta penglihatan. Hidupnya menyedihkan. “Ya Allah, mudahkanlah aku untuk mensyukuri nikmat-nikmat-Mu padaku dan pada orang tuaku, dan masukkanlah aku ke dalam rahmat-Mu” begitu kira-kira do’a yang dimunajatkan laki-laki tua yang cacat fisiknya tersebut. Sang pemuda yang mendengarnya mengerutkan dahi kebingungan, “Wahai bapak tua, apa yang bisa kau syukuri dari hidupmu saat kedua tangan dan kakimu tidak ada serta matamu pun tak melihat?”. Sang laki-laki tua menjawab dengan mantap, “Bukankah Allah masih menyisakan lisan untuk aku bisa menyebut nama-Nya? Andaikan seluruh isi dunia diberikan padaku, maka tetap bagiku nikmat yang paling besar adalah ketika aku bisa menyebut ‘asma-Nya.”

Kau tertohok tidak? Aku iya. Ketika persyaratan untuk menjadi bersyukur terasa semakin berlebihan setiap harinya—harta yang banyak, prestasi yang cemerlang, banyaknya kawan yang menyayangi, dan sebagainya—laki-laki tua yang ternyata adalah shahabat Rasul yang sedang dicari-cari itu hanya perlu mampu melisankan ‘asma Rabbnya untuk membuatnya bersyukur dan itu lebih dari apapun. Seketika semua keluhan yang sedang membadai di hatiku luruh berganti menjadi syukur yang kucoba tancapkan kuat-kuat. “Duh ya Allah, maaf atas seluruh kecupuanku. Dikasih yang begini aja langsung mengerdil. Semoga aku selalu dimampukan untuk peka terhadap nikmat-nikmat-Mu dan bersyukur.”

Laptopku yang rusak, sakit yang menimpa ayahku, uang yang menipis di dompet, dan kawan-kawannya yang lain, percayalah aku akan mampu menghadapi kalian semua tanpa lagi-lagi menyingkirkan rasa syukurku. Bahwa aku hanya perlu menghadapi kalian dengan ridha dan syukur. Jadi, tak perlu lagi mendentum-dentumkan kepalaku. Okay?

Bukankah hari ini aku masih memiliki anggota tubuh yang lengkap dan bisa berfungsi dengan baik? Bukankah hari ini aku masih bisa menuntut ilmu di tempat yang baik bersama orang-orang baik? Bukankah hari ini aku masih dikaruniai keluarga dan orang-orang yang tulus menyayangiku? Bukankah hari ini aku bisa beraktivitas tanpa terhambat oleh sakit yang mengharuskanku terbaring? Bukankah hari ini aku masih bisa mengibadahi-Nya? Bukankah hari ini aku hidup di negeri yang tidak dirundung peperangan dan kelaparan? Bukankah…ada jutaan nikmat yang bisa aku syukuri meski di hari ini juga kesulitan sedang mengiringiku.

Aku selalu percaya, bahwa rasa syukur memang mampu mengalahkan kesulitan atau pikiran buruk sebesar apapun. Karena dengan syukur, kita akan selalu mampu melihat banyak hal baik yang kita miliki dan bahwa itu cukup. Cukup untuk kita tetap bisa beribadah pada-Nya.

Di dalam buku Lapis-Lapis Keberkahan, Salim A. Fillah mengutip ucapan salah satu salafus shalih; “Ridhalah terhadap ketetapan Allah, maka kau akan menjadi manusia yang paling bahagia. Dan ridhalah tarhadap pembagian Allah, maka kau akan menjadi insan yang paling kaya.”

Jika dibuka lagi Al-Qur’an dan kisah para nabi, ada banyak sekali pembahasan mengenai syukur. Syukurlah yang membuat Julaibib tetap bisa menikmati hidupnya meski diberikan wajah yang buru rupa dan tak dikenali. Syukurlah yang membuat ‘Ali Ibn Abi Thalib tetap bisa menjalani hidup dengan ringan meski tak memiliki harta berharga. Syukurlah yang membuat Urwah Ibn Zubair tetap mampu mengucap Alhamdulillah dan tak bersedih pilu saat anak laki-lakinya meninggal dan kakinya diamputasi. Syukurlah yang membuat Nabi Ayub tidak mengeluh sedikitpun atas berlapis-lapisnya cobaan yang mendera hidupnya.

Jadi, ridha saja, termasuk untuk masalah-masalah yang sedang dikaruniakan untuk kita. Jadi, syukuri saja, bahwa satu masalah yang sedang kita hadapi sejatinya ditemani dengan melimpahnya kebaikan yang lain. Jadi, yakini saja bahwa Allah sangat dekat; pertolongan-Nya, kasih sayang-Nya, kebaikan-Nya.




Jadi, ayo bersyukur!

Comments

Popular posts from this blog

Pengumuman Staff FUSI XV

Konsep Dasar Manusia: FreeWill atau Determinism?

Bagaimana Gambaran Jiwa yang Sehat Dalam Pandangan Islam?