Maqashid Syariah terkait Psikologi Islam





Kita, dalam menjalani kehidupan sehari-hari, acap kali menggerutu. Tatkala beban kehidupan terasa menghimpit, masih saja kita dihadapkan dengan berbagai kewajiban agama yang terasa ‘membebani’. Kala itu, kita merasa bahwa ajaran Islam terlalu banyak tuntutan, membuat kita melakukan segala kewajiban dengan setengah hati. Kerap kali pikiran-pikiran khilaf pun menghampiri

“Tadi gue baru aja sholat, eh udah adzan lagi.”

“Hah, puasa sunnah? Besok? Kamis gue ada UTS dua biji, Bro. nanti gue ga bisa mikir lagi. Bisa ngulang matkul, dong! Puasanya minggu depan aja lah ya.”

Nak, kamu kapan pulang? Mama-mu sudah kangen.”

Minggu pertama: “Minggu depan aja ya Ma, aku lagi minggu tugas nih.”
Minggu kedua: “Ma, minggu depan deh habis UTS. Matkulnya susah-susah nih.”
Minggu ketiga: “Yah Ma, adek mau katarsis bareng temen-temen. Refreshing abis UTS gitu.”

Atau terkadang kita terpengaruh dengan lingkungan yang mengasingkan syariat Islam. Lalu kita mempertanyakan, untuk apa melaksanakannya selama ini.
Lantas, sebagai umat muslim kita bertanya, benarkah semua aturan dalam Islam dibuat hanya untuk membebani manusia? Padahal Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 286 bahwa: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Islam ternyata memiliki jawabannya dalam bahasan  bernama maqashid syariah.

MAQASHID SYARIAH

Menurut Asy-Syatibi dan Ibnu ‘Asyur, Maqashid memiliki makna hikmah atau tujuan dari penetapan maupun peniadaan suatu syariah Islam (Sahroni, 2015). Syariah dalam Islam mencakup segala ketentuan Allah yang diturunkan kepada Rasulullah .  (Al Quran dan Sunnah) meliputi aturan, perintah (amalan) dan larangan dalam beribadah, beraqidah, bermuamalah maupun berakhlak (Qathan dalam Baits, 2013). Sejatinya, syariah dibuat dengan tujuan-tujuan tersembunyi terkandung di dalamnya yang diinginkan Allah untuk hambaNya. Syariah setidaknya memiliki lima jenis hikmah, diantaranya melindungi agama (hifdzu din), melindungi jiwa (hifdzu nafs), melindungi pikiran (hifdzu aql), melindungi harta (hifdzu mal) dan melindungi keturunan (hifdzu nasab). Dari pernyataan tersebut, terdapat dua entitas yang erat kaitannya untuk memahami manusia terlindungi di sana, yakni pikiran dan jiwa. Perihal perlindungan ini kemudian selaras dengan tujuan Psikologi Islam, yaitu meningkatkan kesehatan mental yang berbanding lurus dengan peningkatan iman dan taqwa (Bastaman, 1995). Salah satu contoh maqashid syariah yang terkait dengan Psikologi Islam dapat ditemukan dalam hadist shalat berjamaah di awal waktu selama 40 hari berturut-turut (shalat arba’in) (dalam Bahraen, 2014):
Dari Anas bin Malik, Rasulullah  bersabda:  “Barang siapa yang shalat karena Allah empat puluh hari secara berjamaah tanpa ketinggalan takbir yang pertama, dicatatkan baginya dua kebebasan; kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan.” [HR Ar-Tirmidzi]
Hadist tersebut merupakan contoh syariat Islam yang tercantum bersama maqashid (tujuan) nya langsung pada hadistnya. Hadist tersebut menjelaskan  bahwa syariat tersebut melindungi jiwa dari sifat kemunafikan. Bahwa sejatinya, terbebasnya dari kemunafikan dampaknya tidak hanya dirasakan di dunia saja (yang dirasakan pada akhlak si Pelaku, seperti pelaku menjadi orang yang amanah dan jujur), tapi juga berdampak bagi keselamatan diri si Pelaku di akhirat, yakni tempat berakhirnya kelak, yaitu surga atau neraka.
Terdapat juga amalan lain yang terkandung pada ayat yang mungkin familiar dengan kita:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ   “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram”  (Qs. Ar-Ra’du: 28).
Dzikir sejatimya mengingat Allah dengan hati dan lisan (Minaoki, 2014). Dzikir dapat berupa Al Quran maupun zikir yang disyariatkan Rasulullah diantaranya seperti: Laa illa ha illallah, subhanallah wa bihamdihi 100x sehari, zikir pagi-petang, dll). Mengingat Allah juga dapat dimaknai dengan tidak berpaling dari  peringatan (ayat) Allah, seperti yang dimaksud pada ayat:
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, 'Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?' Allah berfirman, 'Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, Maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.” [QS Thaahaa [20]: 124 – 126].
Ibnu katsir menafsirkan seorang yang buta dalam ayat ini  sebagai orang yang berpaling dari ayat-ayat Allah (dalam Azka, 2015). Mereka tidak memiliki pembela pada hari kiamat. Dalam pendapat lain, mereka digiring ke neraka dalam keadaan buta mata dan hatinya. Dari ayat-ayat di atas, tersingkaplah hikmah dari syariat dzikir ini: Membuat hati tentram dan terhindar dari kebutaan hati sehingga jiwa tak dibangkitkan dalam keadaan buta di padang mashar (Taslim, 2010).

Hikmah-hikmah dari kedua contoh di atas hanyalah maqashid dari syariat yang melindungi jiwa. Masih banyak contoh syariat lain yang melindungi jiwa dan pikiran jika mau ditelusuri dalam Al Quran, hadist (Sunnah Rasul) dan kitab-kitab fikih seperti Riyadhus Sholihin, kitab Al-Umm (Kitab fikih mazhab Syafi’i, kitab Fikih Islam Wa Adillatuhu (Fikih empat mazhab), dll. Belum lagi syariat yang melindungi agama, harta dan keturunan seperti contoh-contoh syariat yang dituliskan pada awal tulisan ini. Teranglah kita bahwa Allah menurunkan syariat bukan sebagai beban bagi umat manusia atau karena Allah membutuhkan ibadah kita, melainkan syariat itu berguna untuk manusia sendiri.
“(Hai orang-orang yang beriman!), maka perhatikan perintah yang akan disampaikan sesudah itu. Engkau tidak akan mendapatkannya, kecuali kebaikan yang engkau dianjurkan untuk mendapatkannya, atau keburukan yang engkau dilarang untuk melakukannya, atau gabungan antara anjuran dan larangan. Sesungguhnya Allah telah menjelaskan dalam kitab-Nya beberapa hukum yang berkaitan dengan kerusakan dalam bentuk perintah, untuk menjauhi perkara yang merusak itu. Dan menjelaskan beberapa hukum yang berkaitan dengan kebaikan dalam bentuk perintah, untuk mendatangi kebaikan itu.” (Kitab Maqâshidusy- Syari’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah. hlm. 104)
“Hai manusia, kamulah yang sangat butuh kepada Allah; dan Allah, Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” [QS. Fathir: 15]
Syariat (aturan, perintah, larangan) haruslah berdasar pada aqidah (keyakian yang bersumber dari Rasulullah). Syariah dan aqidah ini  saling melengkapi dalam menjalankan rukun iman, seperti perkataan Imam Syafi’i dalam kitab Al’um bahwa beriman tidak hanya amalan  hati, namun juga dalam lisan dan perbuatan (Budiman, 2012). Oleh karena itu, syarat diterimanya suatu syariat adalah ikhlas dan ber-ittiba’ kepada Rasulullah  . Ikhlas bermakna mendasarkan niat dalam mengerjakan suatu syariat hanya kepada Allah. Niat ini merupakan hal mendasar dalam mengerjakan amalan, sedangkan melakukannya karena Allah didasari oleh akidah. Ittiba’ berarti melakukan amalan tersebut sesuai tuntunan Rasulullah ..

Benarkah Jiwa Membutuhkan  Syariat?
Aqidah dan Syariah ini menjadi dua hal yang ditekankan karena  diterimanya suatu amalan merupakan syarat tercapainya tujuan/hikmah syariat-syariat yang ada. Secara umum, tujuan syariah bagi jiwa adalah menyucikan jiwa seperti yang terdapat pada QS. Ali ‘Imraan ayat 164:
 “Sungguh, Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (Al-Qur-an) dan al-Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan nyata.”
Menurut Tafsir Ibnu Katsir (dalam Azka, 2015), ayat  ini mengungkapkan hikmah diutusnya Rasulullah . dari golongan kaumnya sendiri di antaranya untuk memudahkan kaumnya dalam mengambil ilmu berupa Al Quran dan As-Sunnah darinya. Selain itu, Rasulullah juga menyucikan jiwa kaumnya yang kotor akibat perbuatan mereka di masa jahiliah melalui perintah melaksanakan kebajikan (ammar ma’ruf) dan larangan dari kemungkaran (nahi munkar). Jelaslah kita bahwa hajat syariat kepada kita adalah untuk menyucikan jiwa.

Berdampak pada Akhlak
Kemudian, jiwa yang telah disucikan dari aqidah yang buruk, menghasilkan akhlak yang baik, seperti tujuan diutusnya Rasulullah . yaitu menyempurnakan akhlak (Yazid, 2005), yang dibagi menjadi akhlak kepada Allah dan akhlak kepada manusia. Akhlak memiliki keutamaan dalam Islam menurut hadist-hadist yang diriwayatkan Imam Tirmidzi sebagai indikator kesempurnaan iman sekaligus amal yang terberat timbangannya di hari kiamat.
Wallahu a’lam bish-shawwab 

REFERENSI :
Azka, R. A. Tafsir surat Ali Imran ayat 159-164. (2015). Diakses pada tanggal 29 Maret 2017 dari  http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-ali-imran-ayat-159-164.html
Azka, R. A. (2015). Tafsir surat Thaha ayat 123-126. Diakses pada tanggal 29 Maret 2017 dari http://www.ibnukatsironline.com/2015/06/tafsir-surat-thaha-ayat-123-126.html
Budiman, A. (2012). Iman bukan keyakinan hati semata. Diakses pada tanggal 29 Maret 217 dari https://muslim.or.id/9552-iman-bukan-keyakinan-hati-semata.html
Baits, A. N. (2013). Apa itu syariah. Diakses pada tanggal 29 Maret 2017 dari https://konsultasisyariah.com/19759-apa-itu-syariah.html
Bastaman, H. D. (1995). Integrasi psikologi dengan Islam: Menuju psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Minaoki, A. (2014). Hakekat dzikir dan syukur. Diakses pada tanggal 29 Maret 217 dari https://muslimah.or.id/6528-hakekat-dzikir-dan-syukur.html
Bahraen, R. (2014). Inilah shalat arbain yang dianjurkan nabi. Diakses pada tanggal 29 Maret 217 dari http://muslim.or.id/22613-inilah-shalat-arbain-yang-dianjurkan-nabi.html
Sahroni, O., & Karim, A. (2015). Maqashid bisnis dan keuangan Islam sintesis fikih dan ekonomi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Taslim, A. (2010). Menggapai ketenangan hati dengan mengingat Allah 1. Diakses pada tanggal 29 Maret 217 dari https://muslim.or.id/4783-menggapai-ketenangan-hati-dengan-mengingat-allah-1.html


Yazid. (2005). Ahlus sunnah wal jamaah mengajak manusia kepada akhlak yang mulia dan amal-amal yang baik. Diakses pada tanggal 29 Maret 217 dari https://almanhaj.or.id/1299-ahlus-sunnah-wal-jamaah-mengajak-manusia-kepada-akhlak-yang-mulia-dan-amal-amal-yang-baik.html

Comments

Popular posts from this blog

Pengumuman Staff FUSI XV

Konsep Dasar Manusia: FreeWill atau Determinism?

Bagaimana Gambaran Jiwa yang Sehat Dalam Pandangan Islam?