Hijrahku, Hijrahmu




Oleh Bewizta M. Hasyyati

Ini adalah kisah tentang sesosok perempuan biasa yang dipilih Allah yang Maha Kuasa untuk menjadi bagian dari segelintir orang yang akhirnya diberikan petunjuk untuk terus berhijrah dari waktu ke waktu. Ia tidak terlahir dari keluarga yang menjalankan syariat agama secara sempurna; meskipun ia diwajibkan shalat lima waktu, tidak pernah orangtuanya menyuruhnya memenuhi kewajiban menutup aurat. Ia bukan pula seorang yang cemerlang dalam ilmu agama—ibunya saja sampai mengangkat bendera putih jika disuruh mengajarinya Iqro’. Tidak terhitung berapa tetes air mata kesedihan ibunya yang disebabkan oleh ulahnya. Berjuta jam dalam masa mudanya telah ia hamburkan untuk hal-hal yang sia-sia belaka, demi kesenangan yang semu. Entah berapa banyak dusta yang telah terlontar dari mulutnya. Jumlah rakaat shalat yang ia tinggalkan selama ini pun sudah tidak dapat dihitung jari lagi.
   
Namun firman Allah itu benar. Jika dikatakan “jadilah”, maka “jadilah ia”! Begitu pula yang terjadi pada perempuan ini. Takdir Allah menemukannya dengan seorang guru agama yang saat mengajar lebih mirip stand-up comedian di sekolah menengah pertama tempatnya bersekolah. Seketika, pelajaran Agama Islam menjadi pelajaran favoritnya. Jumlah rakaat shalat yang dikerjakannya semakin bertambah, dan dirinya mulai “ikut-ikutan” menjadi pengurus rohis meskipun dirinya belum menutup aurat secara sempurna. Suatu saat, ia mendengar suara salah seorang imam Masjidil Haram, Abdurrahman Sudais, yang menangis ketika sedang membaca ayat Al-Qur’an. Hal tersebut membuat dirinya tertegun, seumur-umur dirinya membaca Al-Quran, belum pernah ia sampai sebegitu menghayatinya, padahal ketika ia membaca novel tak jarang ia sampai meneteskan air mata. Sejak saat itu, perlahan-lahan ia mulai memperhatikan makna dari firman-firman Allah, dan sampailah ia pada ayat yang mengubah hidupnya selamanya.    
  
“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”  (Ar Ra’d: 11) 

“(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)" (Ali Imran: 8).

Ayat tersebut menjadi sumber energi dan penjaga perilakunya hingga kini untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari dan terus istiqomah. Ayat tersebut menjadi penyemangatnya ketika keinginan menanggalkan jilbab di kepalanya muncul. Ayat tersebut menjadi penguatnya ketika ia hendak menghapus ratusan lagu yang telah ia koleksi selama bertahun-tahun. Ayat tersebut menjadi pendorongnya ketika ia mulai menyumbangkan semua celana yang ia miliki dan mulai istiqomah memakai rok. Ayat tersebut menjadi peneguhnya untuk tetap jujur ketika hampir semua temannya saling berbisik dan bertukar jawaban di saat ujian. Ayat itu jugalah yang membuatnya tegas menolak untuk memperlihatkan kupingnya ketika ia harus melakukan foto visa ke negeri adidaya. Kedua ayat itu membuatnya yakin bahwa selama kita melakukan usaha yang terbaik, maka dengan izin Allah apapun yang kita usahakan akan membuahkan hasil yang manis—sepahit apapun halangan yang merintangi dalam proses usaha menuju kebaikan tersebut. Memang, manisnya iman baru terasa ketika kita telah merasakan pahitnya berusaha mempertahankan apa yang kita yakini. 

Meskipun sejak awal SMA ia telah memenuhi nadzarnya untuk mengenakan kerudung ketika ia berhasil diterima di SMA impiannya, namun ia baru melakukan “hijrah multidimensional” saat ia menjalani tahun kedua di SMA. Seringkali, orang membutuhkan “paksaan” agar dapat berperforma secara maksimal, dan itulah yang terjadi pada dirinya. Secara tiba-tiba, dirinya yang belum lama berkerudung ditunjuk untuk jadi salah satu petinggi rohis di sekolahnya. Mau tidak mau, perempuan itu harus berubah secara cepat. Mentoring mulai diikutinya secara rutin, hafalan Qurannya terus ditambah, dan ia mulai lebih getol mengerjakan hal-hal yang sifatnya sunnah. Ia juga dipaksa untuk mengurangi waktu mainnya karena kini terpakai untuk rapat yang rasanya tiada habisnya. 

Lalu, ketika duduk di kelas tiga SMA, ia terpilih menjadi salah satu pelajar yang mendapatkan beasiswa untuk hidup sebagai minoritas selama setahun dalam setting budaya yang berbeda di negara Paman Sam. Meskipun dari luar terkesan bahwa kesempatan hidup di luar negeri secara gratis seperti mendapat durian runtuh, nyatanya banyak lika-liku yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Ia yang biasanya pemakan segala kini harus memicingkan mata ketika mengecek komposisi makanan di supermarket. Ia yang biasanya tinggal melangkahkan kaki menuju mushola terdekat ketika mendengar adzan, kini harus mencari jadwal waktu shalat, membawa kompas kemana-mana untuk mencari kiblat, dan memohon izin untuk dipinjamkan ruangan untuk shalat. Ia yang biasanya bisa langsung tidak menjabat tangan lawan jenis, kini harus menjelaskan kenapa ia tidak melakukan hal tersebut. Ia yang biasanya cukup diam saja di rumah ketika sedang ada perayaan besar agama lain, kini harus mencari cara untuk menjelaskan bahwa ia tidak merayakan hari raya tersebut karena alasan agama.

Meski begitu, hidup sebagai minoritas membuat dirinya semakin merasakan indahnya menjadi seorang muslimah. Selalu terukir di benaknya betapa bahagianya dirinya ketika merayakan idul adha bersama orang-orang Pakistan dan India yang jumlahnya hanya puluhan di kota tempatnya tinggal. Betapa menyenangkannya menjelaskan ketika orang-orang non muslim menanyainya soal jilbab dan keyakinannya. Betapa berharganya memiliki seorang teman muslim yang bisa diajak shalat berjamaah. Di tahun ini pula, ia mulai tersadar bahwa dirinya perlu meningkatkan kapasitas diri sebagai muslim dengan memperbaiki kaidah membaca Al Qurannya. Maka dari itu, setelah ia tiba di bumi ibu pertiwi, ia segera mendaftarkan dirinya untuk mengikuti les tahsin Al Quran di lembaga yang direkomendasikan kakak kelasnya. 

Awalnya ia santai-santai saja ketika datang mendaftar, namun apa yang terjadi? Di sana banyak ibu-ibu, bahkan nenek-nenek yang semangatnya sangat menggebu untuk mempelajari kaidah membaca Quran, dan pendaftaran les mengaji pun terasa seperti antrean di bioskop ketika sedang ada premiere film yang super hits. Padat merayap—namun worth it. Hal tersebut pun membangkitkan semangatnya dan ia berkomitmen untuk mengikuti kursus tahsin (mengaji) ini hingga tuntas. Namun, setelah proses pembelajaran dijalani, bukan main rintangan yang menghadang karena kursus mengaji diadakan setiap akhir pekan yang merupakan sumber dari segala kemalasan. Alhamdulillah. materi yang didapatnya pada kelas tahsin selalu terngiang di telinganya, bahwa “mempelajari Al Quran adalah sebaik-baik kesibukan”, dan bahwa “sekali setan berhasil membujukmu untuk tidak datang, besok-besok ia akan membujukmu lagi untuk tidak datang” mendorongnya untuk bangkit dari sindrom magernya.

Ia bertahan kursus mengaji hingga tahun pertama di bangku kuliah, dan di tahun kedua kuliah, ia memberanikan diri untuk menjadi bagian dari mahasantri (mahasiswa dan santri) di sebuah yayasan yang memfasilitasi mahasiswa yang berkeingininan untuk menghafal Al Quran. Ketika mendaftar, ia merasa masih banyak orang yang jauh lebih baik daripadanya—belum pantas ia berada bersama para penghafal Al Quran. Namun, di satu sisi, ia ingat bahwa bisa saja perasaan ragu tersebut datangnya dari setan yang ingin menjauhkannya dari Al Quran, maka ia tetap mendaftar dan mengambil kesempatan emas tersebut ketika ia berhasil diterima. 

However, you can’t have a rainbow without a little rain. Ia harus adaptasi mati-matian karena kehidupannya berubah 180 derajat sejak tinggal di asrama bersama para mahasantri lainnya. Ketika pulang, ia tidak hanya memikirkan tugas kuliah, namun juga hafalan dan jumlah ayat yang telah dibacanya hari ini. Tidak jarang pula ujian di kampus dilaksanakan secara berbarengan dengan ujian di asrama. Dirinya pun sering sakit karena kini sering kurang tidur. Namun sekali lagi, jalan orang yang sukses tak selalu mulus. Ia kembali mengingat tujuan awalnya untuk menghafal Quran: agar meraih ridha Allah dan kelak di akhirat dapat memberi orang tua mahkota yang sinarnya lebih berkilau dibandingkan sinar matahari. Hal itulah yang membuatnya bertahan menghafalkan Quran, meskipun ia tidak seleluasa dahulu untuk belajar dan bersantai. Allah pun menunjukkan, bahwa dengan mengutamakan Al Quran, mendahulukan akhirat dibanding dunia, seseorang tidak akan kehilangan dunia. Ia berhasil membuktikan kepada dirinya bahwa waktu belajar tidak selalu berkorelasi signifikan dengan IPK. Selalu ada variabel sekunder yang memengaruhi IPK, salah satunya adalah “campur tangan” yang menciptakan orang-orang yang membuat soal dan memberikan penilaian.

Perempuan itu hanyalah secercah buih di lautan yang luas—hanyalah seorang muslimah yang memiliki mimpi agar kelak, ia dapat menjadi salah satu ummat yang di dadanya terdapat Al Quran. Yakni, menjadi sosok yang dapat membaca Quran sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW, yakni tanpa harus melihat mushaf dan mengamalkan nilai-nilai dari Al Quran dalam segala aspek kehidupan. Perempuan ini sadar, bahwa jalan dakwah dan jalan kebaikan itu tidak pernah sinonim dengan kata “mudah”. Perempuan ini belajar, bahwa ketika ia kesulitan menghafal Al Quran, sesungguhnya itu adalah blessing in disguise—rahmat Allah yang terselubung. Betapa tidak? Semakin sulit menghafal, maka semakin sering ia harus mengulang ayat yang dihafalnya—sehingga makin banyak pula pahala kebaikan yang ia peroleh dari setiap huruf yang ia baca. Berlama-lama menghafal Qur’an menunjukkan bahwa ia sedang berlama-lama dalam suatu agenda kebaikan. Pahala suatu amalan pun bergantung pada niat, jadi jika ia sudah berniat untuk menjadi penghafal Quran, terus mengulang-ulang hafalannya, dan meninggal ketika belum menjadi hafidzah 30 juz, maka InsyaAllah Allah akan melihatnya sebagai hafidzah karena niat dan usahanya tersebut. 

Perempuan itu adalah saya. Saya, yang menyayangi kalian karena Allah dan ingin terus berhijrah bersama kalian agar kita dapat dipertemukan di jannah-Nya kelak.

Comments

Popular posts from this blog

Pengumuman Staff FUSI XV

Konsep Dasar Manusia: FreeWill atau Determinism?

Bagaimana Gambaran Jiwa yang Sehat Dalam Pandangan Islam?